Popular Post

Posted by : Unknown Wednesday 16 March 2016

Film asal China, Black Coal, Thin Ice tampilkan sebuah kisah misteri kriminal yang disusupi roman.
Sejak awal, film Black Coal, Thin Ice seakan hendak mengetes minat penontonnya. Jika penonton sukses tanpa komplain melewati main credit-nya yang hanya berupa layar hitam bertulisan putih dan tanpa suara sama sekali, selama lebih kurang tiga menit, niscaya bakal bisa bertahan juga dengan gaya tutur pelan dan tak terlalu banyak dialog dari film asal China pemenang Golden Bear di Berlin International Film Festival (Berlinale) 2014 ini.
Film yang disutradarai dan ditulis sendiri oleh Diao Yinan ini cukup sederhana premisnya. Berlatar di sebuah provinsi di China bagian Utara, film ini berkisah tentang pemecahan kasus mutilasi seorang pekerja tambang, yang potongan tubuhnya terserak di penampungan batu bara di berbagai kota. Hanya saja, film ini tidak menuturkannya secara procedural dari sisi penegakan hukum. Malahan, yang aktif memecahkan misteri ini bukanlah penegak hukum.
Film ini mengikuti tindak tanduk Zhang Zili (Liao Fan, yang menang aktor terbaik di Berlinale lewat film ini), seorang detektif yang ditugaskan menangani kasus tersebut pada hari yang sama dengan hari perceraiannya, di musim panas tahun 1999. Di sini, Zhang tampak profesional seakan perceraiannya tidak berpengaruh apa-apa, sampai akhirnya penyelidikan ini malah berujung pada peristiwa berdarah yang hampir merenggut nyawanya.
Kisah pun melompat ke musim dingin tahun 2004. Tidak ada perbedaan mencolok secara kasat mata (seakan menunjukkan bahwa China pada periode itu perkembangannya lambat sekali), dan bisa diketahui bahwa kasus mutilasi tahun 1999 itu belum terpecahkan. Bedanya, keadaan Zhang sudah berubah: ia sekarang hanya seorang staf keamanan di sebuah pabrik, dan ia gemar mabuk-mabukan. Rangkaian peristiwa lima tahun sebelumnya baru terlihat dampaknya sekarang.
Akan tetapi, naluri detektif itu muncul lagi ketika timbul peristiwa-peristiwa mutilasi serupa. Korbannya adalah pria-pria yang pernah dekat dengan Wu Zhizhen (Gwei Lun-Mei), yang tak lain adalah janda dari korban mutilasi tahun 1999. Merasa tak ada lagi hal lain yang bisa ia lakukan, Zhang pun berinisiatif untuk menuntaskan kasus ini dengan caranya sendiri: mendekati Wu untuk memancing pelakunya keluar. Hitung-hitung membantu kawan-kawan lama di kepolisian yang kehabisan akal.
Seiring terkuaknya misteri kasus ini sedikit demi sedikit, film ini juga menawarkan arah cerita yang sebenarnya bisa ditebak. Meski awalnya pura-pura, Zhang lama-lama jadi betulan suka pada Wu. Tetapi, film ini memberi lapisan interpretasi lebih terhadap hal yang bisa dibilang klise itu.
Dari awal memulai "penyamaran"-nya, penonton sudah punya pegangan bahwa Zhang mendekati Wu demi memuaskan dahaganya dalam memecahkan kasus ini, dan apa pun akan dilakukannya demi meyakinkan Wu bahwa ia serius menyukainya. Namun, bila dipikir lagi, hubungan ini adalah sesuatu yang tak dirasakan Zhang setelah sekian lama, ia bisa dengan mudah larut di dalamnya tanpa harus pura-pura. Lagi pula, ia tidak wajib mempertanggungjawabkan tindakannya ini kepada siapa pun, ia bukan aparat lagi. Ini bisa dijadikan—kalau bahasa pergaulan sekarang—"modus" untuk merasakan cinta lagi.
Black Coal, Thin Ice (atau judul Mandarinnya Bái Rì Yànhuǒ, artinya "kembang api siang hari") memang seakan ditata untuk punya beberapa lapisan sekaligus dalam penuturannya. Kisahnya bisa dipandang sebagai misteri kriminal dengan bumbu roman, atau sebaliknya. Bisa dipandang sebagai film "serius" namun juga diselipi dengan beberapa dark humor. Contoh dari unsur humor film ini adalah ketika Zhang ambruk karena mabuk di pinggir jalan, ia menolak ditolong oleh orang bersepeda, alhasil orang tersebut pergi lagi...menggunakan motor Zhang.
Sama juga dengan presentasi visual film ini yang tampak syahdu dan murung. Apalagi ditambah suasana musim dingin plus beberap adegan kekerasan yang cukup lugas, tetapi secara bersamaan juga menampilkan warna-warni neon ceria dari lampu-lampunya yang terang bendarang. Hal-hal yang saling kontras itu bisa dipandang menarik, tetapi juga bisa terasa janggal juga, karena dibilang serius ternyata tidak terlalu, mau tertawa pun tidak bisa terbahak-bahak. Jika boleh dibandingkan, itu adalah kesan yang  lebih kurang sama muncul ketika menonton film-film Coen bersaudara seperti Fargo dan No Country for Old Men.
Karena itu, agak sulit untuk menentukan atmosfer apa yang dapat menggambarkan film ini. Apakah menegangkan, menyenangkan, brutal, lucu, menyedihkan, atau mungkin romantis? Mungkin ambiguitas itu yang ingin dijadikan kekuatan film ini, karena dengan begitu akan banyak hal yang bisa digali, dan itu bisa dibilang berhasil. Akan tetapi, niat itu bisa berbalik jadi kelemahan bila disantap oleh penonton yang menginginkan ketegasan tentang apa yang sebenarnya mau disampaikan film ini. Lagi-lagi, kesan yang mana pun bisa didapat, asalkan sanggup bertahan pada gaya penuturannya yang pelan dan sunyi.
Download  link :
1. Kumpulbagi 
sumberartikel:muvila.com 


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Rekayasa - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Reva Riananta -